Jumat, 29 Juli 2011

KOMUNIKASI

Dalam pelaksanaan pelayanan medis intensif "Komunikasi" kasi ibarat “oksigen”. Ia harus ada dan semua pelaksana pelayanan harus melaksanakannya. Komunikasi mutlak dilakukan oleh semua pelaku / pelaksana / penyelenggara pelayanan pasien di ruang ICU.  Begitu penting dan strategisnya peran komunikasi dalam penyelenggaraan ICU, tanpa komunikasi yang baik institusi ICU  akan menjadi “kering” dan “mati”, tak jelas lagi apakah masih pantas dijuluki dan menyandang predikat penyelenggara pelayanan intensif yang diperuntukkan bagi pasien sakit kritis.

Dalam penyelenggaraan  pelayanan medis intensif komunikasi sangat penting posisi dan perannya. Komunikasi yang dilakukan secara timbal balik antara dokter  atau dokter spesialis, dokter dengan perawat, dokter dengan pasien dan atau keluarganya dan lain sebagainya merupakan komunikasi utama.

 Sekilas melakukan komunikasi ini sangat mudah dan tidak tampak kepentingannya. Tetapi ternyata fakta dan data sehari-hari menunjukkan bahwa para penyelenggara pelayanan di ICU tidak menyelenggarakan prosedur komunikasi sebagaimana diharuskan. Pada tingkat yang ‘parah’ penyelenggaraan ICU seperti  nyaris tidak ada komunikasi sehingga tidak berlebihan kalau terkesan “Autistik”.

Satu ciri yang menonjol bagi pelayanan medis intensif adalah “Open” atau boleh juga disebut transparan atau mengikuti prinsip nilai keterbukaan. Tranansparansi dan keterbukaan hanya dapat diwujudkan apabila komunikasi dapat diselenggarakan secara tulus melalui mekanismedan cara tertentu yang dibangun ditetapkan ditaati, dimana semua pelaku menyadari bahwa melalui komunikasi untuk tujuan bersama menjadi lebih mudah dicapai dan berkualitas.

Saya bahkan anda dan kita semua tidak mengetahui tentang fikiran dan rencana orang lain kalau tidak ada cerita dan komunikasi. Dalam kontek pelayanan di ICU penting dan perlu anda bercerita diantara komponen pelaksana pelayanan satu diantara lainnya. Pasie kritis adalah pasien dengan problem berat dan besar. Yang anda ketahui dan anda maksud mungkin hanya sebelah kaki saja dari persoalan yang “segede” gajah. Tapi itu bukan masalah sepanjang anda dan para patner dan kolega secara terbuka saling berkomunikasi . Komunikasi bagi pelaksana pelayanan di ICU berarti juga menyelenggarakan koordinasi.

Anda saya dan kolega perlu mengetahui dan memahami mengenai hal-hal sebagai berikut:

Apa  yang sedang anda fikirkan. Temuan-temuan klinis adalah fakta yang bisa dilihat secara bersama-sama. Bagaimana anda membangun dan mengkonstruksikannya menjadi sebuah persepsi dan pemikiran ini menjadi persoalan bagi sebuah tim, boleh jadi akan terdapat perbedaan persepsi diantara para anggota tim atas kejadian dan peristiwa. Anda boleh sampaikan pemikran anda tanpa harus menolak pemikiran orang lain. Sebaiknya setiap penyelenggara pelayanan di ICU tidak boleh ragu menyampaikan pemikirannya.

Perbedaan dan perdebatan mungkin tidak bisa dielakkan tetapi ini harus diterima, yang merupakan bagian dari kultur / budaya institusi. Perdebatan harus diletakkan dalam bingkai dan dilakukan dengan cara yang bermartabat. Tidak boleh ada yang kalah tidak boleh ada ada yang dikecewakan, disinilah peran dari sebuah kepemimpinan dalam tim. Pimpinan dan anggota tim harus bersepakat bagaimana mekanisme serta format komunikasi akan dilaksanakan. Hindarkan terlau dominan komunikasi-komunikasi yang bersifat personal, ini bukan persoalan individu per individu, ini adalah tanggung jawab bersama.

Apa yang anda sedang dan akan lakukan. Adakah kemungkinan tidak bersesuaian dengan apa yang dilakukan patner dan kolega lainnya. Kenyataan tak bisa ditutup-tutupi hal demikian sangat sering terjadi. Pendidikan dan pekerjaan yang dikembangkan dengan secara sangat spesialistis tidak perlu diragukan manfaatnya akan tetapi peluang dan kemungkinan menghasilkan “ego sektoral” dan keterbatasan sektoral menjadi tak terhindarkan. Lalu bagaimana hubungannya dengan pelayanan di ICU? Yang harus difahami bahwa penatalaksanaan di ICU adalah bersifat sementara dan hanya berhubungan dengan kondisi kritis yang mengancam jiwa seseorang. Hanya sebatas itu. Ini adalah sepenggal waktu yang tidak dapat dihindari dan harus menimpa seseorang, segmen waktu dimana tim harus berdaya upaya menyelamatkan pasien dari perburukan  yang bisa berakibat fatal. Selanjutnya secara fisiologis pasien akan mampu mempertahankan kehidupan dengan sendirinya. Jadi pelayanan ICU adalah masalah prioritasisasi dari rangkaian penyembuhan pasien. Komunikasi menjadi solusi bagi perbedaan pemikiran persepsi dan pendapat, dalam sebuah paradigm kesementaraan kegawatan dan penyelamatan.

Pemikiran latar belakang dan alasan sangat mungkin beragam dan berbeda tetapi tujuan harus satu yaitu mengatasi penderitaan mengembalikan pasien kepada kondisi fisiologis atau mendekati kondisi fisiologis sehingga pasien mampu untuk mempertahankan kehidupannya sendiri tanpa bantuan alat dan orang lain.

Semua fihak yang berkecimpung dalam pelayanan medis intensif di ruang ICU hampir pasti semua sepakat dan mengakui pentingnya menyelenggarakan komunikasi secara baik dan maksimal. Apakah dia seorang dokter perawat atau tenaga professional lainnya tidak bisa dihindarkan haruslah insane-insan yang komunikatif, ringan untuk menyapa memberitakan melakukan krarifikasi bahkan tidak segan melakukan koreksi terhadap hal-hal yang secara keilmuan ia anggap benar. Sebaliknya setiap professional juga harus rela dan iklas untuk menerima kritikan, koreksi serta menjawab pertanyaan. Komunikasi professional secara timbal balik seperti inilah yang seharusnya dipelihara dan dipraktekkan dalam menyelenggarakan pelayanan pasien di ICU.
Komunikasi yang etis dan estetis semestinya menjadi “budaya” yang sengaja dipelihara dan dihidup-hidupkan. Kompleksitas permasalahan dan derita penyakit pasien yang berhadapan dengan lingkaran berbagai professional yang memiliki latar belakang disipin ilmu / spesialisasi / keahlian yang berbeda-beda menjadikan komunikasi sebagai pengikat dan pemersatu untuk menyelesaikan problem sehingga tujuan pengobatan dan perawatan dapat terlaksana secara baik.
Pertanyaannya adalah apakah setiap professional telah melakukan komunikasi kepada sejawat  / kolega dan atau patner kerja sebagaimana seharusnya. Tidak ada yang berani menjamin dan memastikan akan hal ini. Boleh jadi masing-masing professional cenderung berdialog hanya dengan dirinya sendiri.

Terdapat begitu banyak alasan dan kepentingan yang menjadikan komunikasi diantara para professional penyelenggara pelayanan di ICU tidak selalu dapat terlaksana secara baik.

1.      Kemampuan berkomunikasi ( Dokter, Perawat ) tidak memadai / buruk
2.      Ego dan kepentingan-kepentingan tersembunyi yang melekat pada pimpinan RS atau pelaku pelayanan   (dokter)
3.      Hubungan pribadi masing-masing personil (dokter, perawat atau petugas lain) tidak baik / tidak harmonis / tidak berkualitas
4.      Ketrampilan dan pengetahuan medis intensif / perawatan intensif yang tidak memenuhi standar
5.      Pemahaman tentang operasionalisasi pelayanan ICU oleh pimpinan RS dokter dan perawat yang cenderung berbeda-beda, tidak lengkap atau bahkan salah
6.      Mekanisme menejemen organisasi ICU yang tidak bisa berjalan sebagaimana seharusnya

Alasan-alasan tersebut bukan berarti komunikasi yang tidak standard an tidak sebagaimana mestinya kemudian boleh dimengerti. Justru penulis ingin mengatakan bahwa factor penyulit seperti tersebut diatas harus diselesaikan dengan cara yang menejerial dan sistematis. Rekayasa-rekayasa sosial perlu dilakukan oleh fihak-fihak berkepentingan (Direktur RS, Ketua Komite Medis, Kepala Instalasi, Koordinator pelayanan, Ketua Tim Medis, dokter, perawat dan lain-lain) sehingga dapat terealisasikan “budaya komunikasi“ yang baik. Penulis beranggapan bahwa terselenggarakannya komunikasi yang baik merupakan “mahkota” tingkat keberadaban budaya bagi institusi bersangkutan.

Tidak ada komentar: